Dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa ada seorang lelaki tua sedang berjalan-jalan di tepi sungai, sedang dia berjalan-jalan dia terpandang seorang anak kecil sedang mengambil wudhu' sambil menangis.
Apabila orang tua itu melihat anak kecil tadi menangis, dia pun berkata, "Wahai anak kecil kenapa kamu menangis?"
Maka berkata anak kecil itu, "Wahai pakcik saya telah membaca ayat al-Qur'an sehingga sampai kepada ayat yang berbunyi, "Yaa ayyuhal ladziina aamanuu quu anfusakum" yang bermaksud, " Wahai orang-orang yang beriman, jagalah olehmu sekalian akan dirimu." Saya menangis sebab saya takut akan dimasukkan ke dalam api neraka."

Berkata orang tua itu, "Wahai anak, janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu terpelihara dan kamu tidak akan dimasukkan ke dalm api neraka."
Berkata anak kecil itu, "Wahai pakcik, pakcik adalah orang yang berakal, tidakkah pakcik lihat kalau orang menyalakan api maka yang pertama sekali yang mereka akan letakkan ialah ranting-ranting kayu yang kecil dahulu kemudian baru mereka letakkan yang besar. Jadi tentulah saya yang kecil ini akan dibakar dahulu sebelum dibakar orang dewasa."

Berkata orang tua itu, sambil menangis, "Sesungguh anak kecil ini lebih takut kepada neraka daripada orang yang dewasa maka bagaimanakah keadaan kami nanti?"

Nama lengkap beliau Syeikh Haji Muhammad Arsyad bin Abdullah al Banjari, lahir di kampung Luk Gabang - Martapura (Kalimantan Selatan) pada tanggal 13 Safar 1122H (lk. 1710 M.), wafat tanggal 6 Syawal 1227 H. (lk. 1812M.) dalam usia 105 tahun.

Pada tahun 1152H. (lk. 1739 M.), dalam usia lk. 30 tahun, beliau naik haji ke Mekkah dengan sengaja juga untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam. Beliau bermukim di Mekkah selama 30 tahun dan di Madinah selama 5 tahun, bertekun mempelajari seluk beluk agama Islam, khususnya ilmu Usuluddin, Ahlussunnah wal Jama’ah dan fiqih Madzhab Imam Syafi’i Rhl.

Guru-guru beliau adalah :
1. Allamah Syeikh Athaillah di Mekkah.
2. Allamah Syeikh Muhammad al Kurdi di Madinah
3. Allamah Abdul Karim Samman di Madinah
4. Dan lain-lain.

Kawan-kawan beliau yang belajar bersama ketika di Mekkah di antaranya adalah:
1. Syeikh Abdussamad Palembang. pengarang kitab “Hidayatushalikiin”, “Sairussalikin” dan lain-lain.
2. Syeikh H. Abdurrahrnan Mashri di Jakarta.
3. Syeikh Abdulwahab Bugis, Sulawesi Selatan.

Syeikh Muhammad al Arsyad al Banjari adalah seorang ulama Besar dalam Madzhab Syafi’i yang jarang tandingannya, begitu juga kawan-kawan beliau yang tersebut adalah ulama-ulama besar dalam Madzhab Syafi’i.

Pada bulan Ramadhan tahun 1186H. (lk. 1172M.) beliau kembali ke kampung halaman dan ketika itu diangkat menjadi Mufti Kerajaan Banjar, berkedudukan di Martapura, dalam usia 65 tahun.

Tidak salah kalau dikatakan bahwa Syeikh Arsyad Banjar inilah ularna besar yang menyiarkan agama Islam ber-Madzhab Syafi’i di seluruh Kalimantan, sehingga pe-nduduk Kalimantan pada waktu itu seluruhnya menganut Madzhab Imam Syafi’i Rahimahuilah.

Beliau banyak mengarang kitab, diantaranya :
1. Sabilal Muhtadin, ditulis tahun 1193 - 1195 H.
2. T’uhfatur Raghibiin, ditulis tahun 1180H.
3. Al Qaulul Mukhtashar. diruiis tahun 1196H.
4. Kitab Ushuluddin.
5. Kitab Tasauf.
6, Kitab Nikah.
7. Kitab Faraidh.
8. Kitab Hasyiyah Fathul Jawad,

Di samping itu beliau menulis satu naskah al Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.

Zurriyaat (anak dan cucu) beliau banyak sekali yang nnenjadi ulama besar, pemimpin-pemimpin, yang semuanya teguh menganut Madzhab Syafi’i sebagai yang di wariskan oleh Syeikh Muhammad Arsyad Banjar.

Diantara zurriyat beliau yang kemudian menjadi ulama besar turun temurun adalah :
l . H. Jamaluddin, Mufti, anak kandung, penulis kitab “perukunan Jamaluddin”.
2. H. Yusein, anak kandung, penulis kitab “Hidayatul Mutafakkiriin”.
3. H. Fathimah binti Arsyad, anak kandung, penulis kitab “Perukunan Besar”, tetapi namanya tidak ditulis dalam kitab itu.
4. H. Abu Sa’ud, Qadhi.
5. H. Abu Naim, Qadhi.
6. H. Ahmad, Mufti.
7. H. Syahabuddin, Mufti.
8. H.M. Thaib, Qadhi.
9. H. As’ad, Mufti.
10. H. Jamaluddin II., Mufti.
11. H. Abdurrahman Sidiq, Mufti Kerajaan Indragiri Sapat (Riau), pengarang kitab “Risalah amal Ma’rifat”, “Asranus Salah”, “Syair Qiyamat”, “Sejarah Arsyadiyah” dan lain lain.
12. H.M. Thaib bin Mas’ud bin H. Abu Saud, ulama Kedah, Malaysia, pengarang kitab “Miftahul jannah”.
13. H. Thohah Qadhi-Qudhat, penbina Madrasah “Sulamul ‘ulum’, Dalam Pagar Martapura.
14. H.M. Ali Junaedi, Qadhi.
15. Gunr H. Zainal Ilmi.
16. H. Ahmad Zainal Aqli, Imam Tentara.
17. H.M. Nawawi, Mufti.
18. Dan lain-lain banyak lagi.
Semuanya yang tersebut di atas adalah zurriyat-zurrivat Syeikh Arsyad yang menjadi ulama dan sudah berpulang ke rahmatullah.

Sebagai kami katakan di atas, Syeikh Mubammad Arsyad bin Al Banjari dan sesudah beliau, zurriyat-zariyat beliau adalah penegak-penegak Madzhab Syafi’i dan faham Ahlussunna,h wal Jama’ah, khususnya di Kalimantan.

Mudah-mudahan Allah menurunkan rahmat kepada keluarga mereka dan kita semuanya, amin-amin.

Sumber: Sejarah dan Keagungan Madzab Syafi’i, karangan KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, 1994.

Ebook ini berisi bekal-bekal dan panduan singkat di dalam menghadapi bulan Ramadhan, mulai dari Keutamaan Bulan Ramadhan, Puasa, Etika dan Sunnah-sunnah dalam Berpuasa, Hal-hal yang membatalkan dan yang diperbolehkan ketika Puasa, Sholat Tarawih, I’tikaf, Zakat Fithri, Sholat Ied, Kesalahan-kesalahan didalamnya dan lainnya. Semoga bisa menambah persiapan kita mengisi bulan Ramadhan ini, serta semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih banyak kepada Penulis dan penerjemah kitab ini.

  • Download




  • Alhamdulillahi wahdahu washshalatu wassalamu ‘ala man la nabiya ba’dahu, amma ba’du.
    Saya bersyukur kepada Allah ta’ala sampai saat ini masih dapat memosting sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin.
    Kaum muslimin para pembaca yang saya muliakan, semoga Allah ta’ala meridhoi amalan kita dan senantiasa memberi hidayah serta afiah-Nya kepada kita semuanya.
    Perkara awal Ramadhan lebih khusus awal hari raya (‘Idul |Fitri dan ‘idul ‘adha) adalah perkara yang sering kaum muslimin berselisih. Sungguh ini perkara yang memprihatinkan karena dua hari raya itu merupakan salah satu syiar Islam yang mulia.
    Kami melihat diantara hal yang menyebabkan perbedaan jatuhnya hari raya tersebut adalah masing-masing individu atau kelompok mengikuti pimpinan mereka masing-masing.
    Bagaimana sebenarnya tuntunan Islam dalam perkara ini ? Bagaimanakah para ulama menjelaskan ?
    Siapakah semestinya yang pengumumannya dapat disambut oleh kaum muslimin ?
    Itu beberapa pertanyaan yang mestinya kita ketahui.
    Sungguh kaum muslimin telah sepakat bahwa awal puasa jatuh pada 1 Ramadhan dan ‘Idul Fithri jatuh pada 1 Syawal dan ‘Idul Adha jatuh pada 10 Dzulhijah. Yang menjadi permasalahan, pengumuman siapa yang harus kaum muslimin ikuti ?

    Apakah jika ada seorang melihat bulan sabit sebagai tanda masuknya 1 Ramadhon kemudian orang tadi mengumumkan tentang telah masuknya 1 Ramadhon seluruh kaum muslimin wajib mengikutinya ?
    Atau jika seorang ketua umum salah satu organisasi yang ada di Indonesia mengumumkan bahwa 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 1 september lantas menjadi suatu kewajiban bagi kaum muslimin untuk melakukan shiam Ramadhan pada tanggal 1 September ?
    Sungguh jika satu Ramadhan atau satu Syawal atau 10 Dzulhijah itu boleh mengikuti sembarang orang atau sembarang organisasi, kebersamaan dalam hari raya yang diharapkan itu tidak akan bakal terwujud.
    Oleh karena itu sebagai bentuk nasehat bagi kaum muslimin terkhusus muslimin di Indonesia ini, kami hadirkan pembahasan seputar masalah penentuan awal bulan Ramadhan dan kedua hari raya bersama Ustadz Sanin Hasanudin.
    Alhamdulillah pembahasan beliau walaupun sederhana akan tetapi rinci dan mudah diikuti. Kami menyarankan salafiyun untuk membantu saya menyebarkan file ini, dan kami nasehatkan seluruh kaum muslimin untuk memperhatikan dan mengamalkan syareat yang mulia ini, sehingga suatu saat nanti di Indonesia negeri yang penduduknya matoritas muslim ini akan senantiasa dilaksanakan hari raya secara bersama-sama.
    Download file audio berikut filenya tidak besar 2.28MB dalam format MP3 8KBBS berdurasi 39,57 menit.

  • Download File


  • Atau Download Disini


  • Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
    Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:
    Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.

    Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:

    1. Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta

    2. Puasa bicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan Allah dalam Al-Qur'an, surat Maryam ayat 26 :

    "Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" (Q.S. Maryam :26).

    3. Puasa dari seluruh atau sebagian perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian Yahudi. Dan puasa-puasa kaum-kaum lainnya yang mempunyai cara dan kriteria yang telah ditentukan oleh masing-masing kaum tersebut.

    4. Sedang kewajiban puasa dalam Islam, orang akan tahu bahwa ia mempunyai aturan yang tengah-tengah yang berbeda dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara dan waktu pelaksanaan. Tidak terlalu ketat sehingga memberatkan kaum muslimin, juga tidak terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan. Hal mana telah menunjukkan keluwesan Islam.

    HIKMAH PUASA

    Diwajibkannya puasa atas ummat Islam mempunyai hikmah yang dalam. Yakni merealisasikan ketakwaan kepada Allan swt. Sebagaimana yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183:
    "Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalain bertakwa."

    Kadar takwa tersebut terefleksi dalam tingkah laku, yakni melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Al-Baqarah ayat 185 :
    "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan tersebut, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". Ayat ini menjelaskan alasan yang melatarbelakangi mengapa puasa diwajibkan di bulan Ramadhan, tidak di bulan yang lain. Allah mengisyaratkan hikmah puasa bulan Ramadhan, yaitu karena Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan yang diistimewakan Allah dengan dengan menurunkan kenikmatan terbesar di dalamnya, yaitu al-Qur'an al-Karim yang akan menunjukan manusia ke jalan yang lurus. Ramadhan juga merupakan pengobat hati, rahmah bagi orang-orang yang beriman, dan sebagai pembersih hati serta penenang jiwa-raga. Inilah nikmat terbesar dan teragung. Maka wajib bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat tiap pagi dan sore.

    Bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, maka adakah puasa yang diwajibkan atas umat Islam sebelum Ramadhan?

    Jumhur ulama dan sebagian pengikut Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas umat Islam sebelum bulan Ramadhan. Pendapat ini dilandaskan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah :
    "Hari ini adalah hari Asyura', dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya."

    Sedangkan madzhab Hanafi mempunyai pendapat lain: bahwa puasa yang diwajibkan pertamakali atas umat Islam adalah puasa Asyura'. Setelah datang Ramadhan Asyura' dirombak (mansukh). Madzhab ini mengambil dalil hadisnya Ibn Umar dan Aisyah ra.: diriwayatkan dari Ibn 'Amr ra. bahwa Nabi saw. telah berpuasa hari Asyura' dan memerintahkannya (kepada umatnya) untuk berpuasa pada hari itu. Dan ketika datang Ramadhan maka lantas puasa Asyura' beliau tinggalkan, Abdullah (Ibnu 'Amr) juga tidak berpuasa". (H.R. Bukhari).

    "Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura' pada masa jahiliyah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa hari Asyura' sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Dan Rasul berkata, barang siapa ingin berpuasa Asyura' silahkan berpuasa, jika tidak juga tak apa-apa".(H.R. Bukhari dan Muslim).

    Pada masa-masa sebelumnya, Rasulullah biasa melakukan puasa Asyura' sejak sebelum hijrah dan terus berlanjut sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa (Asyura'), beliau pun ikut berpuasa seperti mereka dan manyerukan ke ummatnya untuk melakukan puasa itu.

    Hal ini sesuai dengan wahyu secara mutawattir (berkesinambungan) dan ijtihad yang tidak hanya berdasar hadis Ahaad (hadis yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang). ”Ibn Abbas ra. meriwayatkan: ketika Nabi saw. sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang melakukan puasa Asyura', lalu beliau bertanya: (puasa) apa ini? Mereka menjawab: "ini adalah hari Nabi Saleh as., hari di mana Allah swt. memenangkan Bani Israel atas musuh-musuhnya, maka lantas Musa as. melakukan puasa pada hari itu". Lalu Nabi saw. berkata: "aku lebih berhak atas Musa dari kalian. Lantas beliau melaksanakan puasa tersebut dan memerintahkan (kepada sahabat-sahabatnya) berpuasa". (HR. Bukhari).

    Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya'ban tahun kedua hijriyah, maka lantas, sebagaimana madzhab Abi Hanifah, kewajiban puasa Asyura terombak (mansukh). Sedang menurut madzhab lainnya, kewajiban puasa Ramadhan itu hanya merombak kesunatan puasa Asyura'.

    Kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-qur'an, Sunnah, dan Ijma.
    "Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar, bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: Islam berdiri atas lima pilar: kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah (Makkah) dan berpuasa di bulan Ramadhan."

    Kata 'al-haj' (haji) didahulukan sebelum kata 'al-shaum' (puasa), itu menunjukkan pelaksanakaan haji lebih banyak menuntut pengorbanan waktu dan harta. Sedang dalam riwayat lain, kata 'al-shaum' didahulukan, karena kewajiban puasa lebih merata (bisa dilaksanakan oleh mayoritas umat Islam) dari pada haji.

    Kewajiban puasa Ramadhan sangat terang. Barang siapa yang mengingkari atau mengabaikan keberadaannya dia termasuk orang kafir, kecuali mereka yang hidup pada zaman Islam masih baru atau orang yang hidup jauh dari ulama.

    DEFINISI PUASA

    Secara etimologi, puasa berarti menahan, baik menahan makan, minum, bicara dan perbuatan. Seperti yang ditunjukkan firman Allah, surat Maryam ayat 26 :
    "Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa demi Tuhan yang Maha Pemurah, bahwasanya aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (Q.S. Maryam : 26)

    Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenarnnya matahari dengan memakai niat tertentu. Puasa Ramadhan wajib dilakukan, adakalanya karena telah melihat hitungan Sya'ban telah sempurna 30 hari penuh atau dengan melihat bulan pada malam tanggal 30 Sya'ban. Sesuai dengan hadits Nabi saw.

    "Berpuasalah dengan karena kamu telah melihat bulan (ru'yat), dan berbukalah dengan berdasar ru'yat pula. Jika bulan tertutup mendung, maka genapkanlah Sya'ban menjadi 30 hari."***

    =================
    Diambil dari buku "Pilar-pilar Islam dalam al-Sunnah" karya Prof. Dr. Umar Hasyim, oleh M. Rofiq Mu'allimin.



    Apa yang dirasakan oleh juara Euro 2008, Tim Spanyol, ketika ia dipastikan menjadi juara dalam event besar itu? Tentu luapan kegembiraan dan suka cita menyatu dalam diri mereka. Tidak hanya pemain, pelatih, dan tim saja, bahkan semua warga negara Spanyol menyatu dalam kegembiraan itu. Dunia memujinya, publik menyanjungnya. Spanyol jadi buah bibir.

    Keberhasilan itu hasil jerih perjuangan panjang dan melelahkan. Penantian selama empat puluh tiga tahun untuk merebut kembali predikat sang juara. Penuh kesungguhan dan kedisiplinan.

    Bagaimana jika piala itu datangnya dari Tuhannya manusia?. Bagaimana jika predikat juara itu disematkan oleh Pemilik alam raya ini?. Bagaimana jika yang menyanjung itu adalah Penentu kehidupan semua makhluk?.

    Secara fitriyah dan imaniyah, pasti orang akan berebut piala dan predikat juara dari Tuhannya. Tentu jauh lebih mulia, istimewa dibandingkan dengan sanjungan manusia.

    Ya, itulah peraih sukses Ramadhan. Orang yang mampu melewati event besar ini sampai finish dengan kesungguhan. Ia meraih predikat taqwa, sebagai identitas tertinggi manusia. Ia meraih piala Ar Royyan, surga spesial bagi shaaimin dan shaaimat.

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).

    “Sesungguhnya didalam surga ada pintu bernama Royyan, tidak ada yang memasukinya kecuali mereka yang shaum Ramadhan.” (Muttafaq alaih)

    Bahkan tidak hanya itu, orang yang sukses Ramadhan, mengisinya dengan kesungguhan, akan meraih berbagai keistimewaan dan kemuliaan.

    Karena Ramadhan menjanjikan: Kelipatan pahala, pengkabulan do’a, pemudahan amal shaleh, penghapusan dosa, surga dibuka lebar-lebar, neraka ditutup rapat-rapat, setan-setan dibelenggu. Dan di dalamnya ada malam lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. Kebaikan senilai usia rata-rata manusia, bagi yang meraihnya. Subhanallah!

    Nabi saw. bersabda: “Bila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, sementara setan-setan diikat.” (HR. Bukhari-Muslim).

    “Setiap amal anak Adam -selama Ramadhan- dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, Allah swt. berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku langsung yang akan memberikan pahala untuknya.” (HR. Muslim).

    “Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim).

    “Orang yang berpuasa doanya tidak ditolak, terutama menjelang berbuka.” (HR. Ibn Majah, sanad hadits ini sahih).

    Yang lebih penting untuk diperhatikan di sini adalah, persiapan dan pengkondisian sebelum Ramadhan datang.

    Seperti Tim Spanyol, yang harus berjibaku sepanjang waktu mempersiapkan diri menghadapi musim pertandingan.

    Begitu juga dengan persiapan Ramadhan. Apa yang perlu dipersiapkan?

    Persiapan fikriyah atau pemahaman tentang Ramadhan. Persiapan ruhiyah atau ibadah ritual. Persiapan maddiyah atau fisik dan material.

    Bulan Sya’ban telah menjelang. Bulan di mana Rasulullah saw. meningkatkan aktivitas ibadah. Bahkan diriwayatkan beliau hampir-hampir shaum sunnah sebulan penuh.

    Imam al-Nasa’i dan Abu Dawud meriwayatkan, disahihkan oleh Ibnu Huzaimah. Usamah berkata pada Nabi saw.

    “Wahai Rasulullah, saya tidak melihat Engkau melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Engkau lakukan dalam bulan Sya’ban.’ Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang. Di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa.”

    Dari Aisyah r.a. beliau berkata: “Rasulullah s.a.w. berpuasa hingga kita mengatakan tidak pernah tidak puasa, dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kita mengatakan tidak puasa, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya’ban.” Imam Bukhari.

    Subhanallah, kondisi ruhiyah, fikriyah dan maddiyah sudah dipersiapkan sebulan, bahkan dua bulan sebelum Ramadhan menjelang. Sehingga ketika Ramadhan datang, kita sudah terbiasa, terkondisikan dengan kesungguhan dan ketaatan. Dan karena itu kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan Ramadhan akan dapat diraih. Keluar Ramadhan meraih predikat muttaqin dan piala Jannatur Rayyan, insya Allah. Allahu a’lam


    Sumber :

  • dakwatuna



  • Saudaraku, Ramadhan tinggal hitungan hari lagi akan menyapa kita. Bulan yang sangat dirindukan bagi mereka yang tahu hakikat hidangan Allah yang hanya setahun sekali ini. Bagi pencari kenikmatan ibadah, bagi pemburu manisnya keta’atan, dan bagi yang gandrung dengan kepuasan ruhani… Ramadhan sangat dinanti. Suka cita, bergembira ria dan penuh permohonan kepada Allah swt agar Ramadhan kali ini menjadi yang terbaik dari tahun-tahun sebelumnya. Ya Rahman, Ramadhan begitu dekat, maka takdirkan kami bertemu dengannya dalam keadaan sehat wal afiat, dan memiliki kekuatan dan kemauan untuk mengoptimalkan ibadah-ibadah Ramadhan.

    Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- saat Ramadhan tiba bersabda: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, Allah telah wajibkan atas kalian puasa di siang harinya, pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syetan-syetan dibelenggu, pada bulan ini ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang terhalang dari kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang (H.R. Ahmad).

    Berikut beberapa teknik meraih sukses Ramadhan :

    1. Ikhlas (murni) untuk Allah SWT dalam segala ibadah yang kita lakukan.

    Ikhlas untuk Allah SWT adalah ruh segala ketaatan, kunci agar segala kebaikan diterima di sisi-Nya serta pintu bagi pertolongan dan taufiq Tuhan semesta alam. Sesuai dengan kadar niat, keikhlasan dan kesungguhan terhadap Allah SWT dan dalam mengingatkan berbagai kebaikan, sesuai kadar itu pula pertolongan Allah SWT datang kepada seorang hambanya yang beriman. Ibnu al-Qayyim berkata: “Sesuai dengan kadar niat seorang hamba, obsesi, kehendak dan keinginannya dalam hal itu, seperti itu pula taufiq Allah SWT dan pertolongan-Nya”.

    Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk ikhlas dalam beramal, untuk Dia semata, tidak untuk sesiapa pun selain-Nya.

    وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْ للهَ مُخْلِصْيِنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ (البينة :5

    Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (Q.S. Al-Bayyinah:
    5).

    Jika seseorang yang sedang berpuasa mengetahui bahwa ikhlas adalah pintu bagi pertolongan dan taufiq Allah SWT, maka hal ini akan menjadi motivasi yang sangat baik baginya untuk melakukan optimalisasi Ramadhan dengan segala bentuk ketaatan kepada Allah SWT {(Puasa + Ikhlas untuk Allah) = semangat dan motivasi tinggi}

    2. Mengetahui bahwa nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- setiap menjelang kedatangan bulan Ramadhan selalu memberi berita gembira kepada para sahabatnya.

    Hal ini menunjukkan bahwa Ramadhan adalah bulan yang agung, dan agung pula setiap usaha untuk optimalisasi dengan berbagai bentuk ketaatan dan ibadah. Tersebut dalam satu riwayat bahwa:

    قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، (رواه أحمد

    “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, Allah telah wajibkan atas kalian puasa di siang harinya. (H.R. Ahmad).

    3. Merasakan pahala yang agung yang telah Allah SWT siapkan untuk orang-orang yang berpuasa. Diantaranya adalah:

    a. Bahwa pahala orang yang berpuasa sangatlah besat, saking besarnya, tidak ada siapa pun yang mengetahuinya selain Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

    كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ (رواه البخاري

    Semua amal manusia adalah miliknya, kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya (H.R. Bukhari).

    b. Siapa yang berpuasa satu hari fi sabilillah, maka ia akan dijauhkan dari neraka sejauh 70 tahun. Ini ganjaran satu hari, bagaimana kalau satu bulan penuh?!

    Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ : سَمِعْتُ

    النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَقُولُ : مَنْ صَامَ يَوْمًا

    فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًًا

    (متفق عليه

    Dari Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu ‘anhu- ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Siapa yang berpuasa satu hari fi sabilillah maka Allah SWT akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun‘”. (Muttafaqun ‘alaih).

    c. Puasa akan memberi syafaat kepada yang melakukannya sehingga ia akan memasukkannya ke dalam surga.

    Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:(yang artinya)

    Dari Abdullah bin ‘Amr -radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Puasa dan Al-Qur’an memberi syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat, puasa berkata: “Wahai Tuhanku! Saya telah mencegahnya dari makan dan syahwa di siang hari, oleh karena itu terimalah syafaat saya untuknya!”. Lalu Al-QUr’an berkata: “Wahai Tuhanku, saya telah memcegahnya dari tidur di malam hari, oleh karena itu, terimalah syafaat saya untuknya!”. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Lalu syafaat keduanya diterima Allah SWT”. (H.R. Ahmad).

    d. Di dalam surga ada satu pintu yang bernama Al-Rayyan, pintu ini hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa.

    Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda(yang artinya):

    Dari Sahl -radhiyallahu ‘anhu dari nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya di surga ada satu pintu bernama Al-Rayyan, dari pintu ini akan masuk orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak ada siapapun selain mereka yang akan memasuki pintu ini, dikatakan (diserukan): Mana orang-orang yang berpuasa? Lalu mereka semua berdiri, tidak ada seorang pun selain mereka yang memasuki pintu ini, jika orang-orang yang berpuasa telah masuk, maka pintu itu ditutup, sehingga tidak ada seorang pun selain mereka yang memasukinya”. (Muttafaqun ‘alaih).

    e. Puasa Ramadhan menghapus dosa-dosa yang telah berlalu. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya):

    Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman dan karena mengharap pahala di sisi Allah SWT, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni‘”. (Muttafaqun ‘alaih).

    Dalam hadits lain Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya):

    Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ’shalat lima waktu, Jumat ke Jumat dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus-penghapus dosa di antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi’”. (H.R. Muslim).

    f. Pada bulan Ramadhan pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syetan-syetan dibelenggu.

    Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jika datang bulan Ramadhan, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syetan-syetan dibelenggu”. (H.R. Muslim).

    g. Doa orang yang berpuasa bulan Ramadhan dikabulkan Allah SWT.

    Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Tiga orang yang doa mereka tidak ditolak; orang yang berpuasa sehingga ia berbuka, imam yang adil, dan doa orang yang terzhalimi akan diangkat Allah SWT di atas awan dan dibuka untuknya pintu-pintu langit, dan Allah SWT berfirman: ‘Demi izzahku, sungguh Aku akan mendolongmu walaupun setelah beberapa saat’”. (H. R. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan ia berkata: “Hadits ini hasan”.

    Setelah kita ketahui betapa besar pahala yang Allah SWT sediakan bagi orang-orang yang berpuasa, maka tidak ada pilihan lain bagi kita selain membangun motivasi dan semangat untuk mengisi siang dan malam hari Ramadhan dengan berbagai amal shaleh dan segala bentuk ketaatan.

    4. Mengetahui bahwa di antara petunjuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memperbanyak berbagai bentuk ibadah.

    Contoh yang diberikan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau mengkhususkan Ramadhan dengan berbagai ibadah, sesuatu yang tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya. Jika kita mengetahui bahwa beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memperbanyak berbagai macam ibadah pada bulan ini, maka kita akan bersemangat untuk memperbanyak ibadah dalam rangka mencontoh dan meneladani beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 21:

    Sungguh telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik.

    5. Memahami dengan baik keberkahan-keberkahan yang ada di bulan Ramadhan.

    a. Keberkahan cita rasa keimanan. Hal ini bisa kita saksikan betapa pada bulan ini seorang mukmin terlihat sangat kuat keimanannya, hatinya hidup, selalu tafakkur, dan cepat ingat dan sadar. Hal ini tentunya merupakan bagian dari pemberian Allah SWT yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya. Jika kita merasakan adanya keberkahan ini tentulah kita akan termotivasi dan tergugah semangat kita untuk beribadah.

    b. Keberkahan kekuatan fisik. Saat seseorang berpuasa, walaupun ia tidak makan dan minum, namun sebenarnya kekuatan fisiknya sedang bertambah, sehingga akan terasa ringan baginya untuk menjalankan berbagai ibadah, baik berupa shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an, tarawih dan sebagainya.

    c. Kerbakahan waktu. Saat kita berada di bulan Ramadhan, dalam satu hari satu malam kita mampu melakukan berbagai ibadah yang jika diukur secara kuantitatif mungkin sesuatu yang baru bisa kita lakukan dalam beberapa hari di luar Ramadhan. Hal ini adalah tanda keberkahan waktu yang Allah SWT berikan kepada para hamba-Nya di bulan Ramadhan.

    Jika kita menyadari hal ini pastilah akan termotivasi untuk memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Allahu A’lam. []




    Referensi :

  • dakwatuna




  • Allah swt berfirman, “Dan Saya tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.” Adz Dzariat:56

    Ya, inilah tujuan diciptakan setiap manusia. Yaitu, melaksanakan tugas ibadah hanya pada Allah swt. saja. Menyembah Tuhan, Pencipta langit tujuh tanpa atap. Pencipta manusia dengan struktur unik. Pembuat alam raya untuk manusia.

    Manusia dijadikan saling mengisi, memimpin, memerintah dan melayani sepanjang masa. Semua itu, adalah dalam rangka mewujudkan tujuan besar ini. Karena itu, ibadah kepada Allah swt. membutuhkan semangat yang menggelora, dan kesungguhan yang hebat sesuai dengan tujuan besar ini.

    Semangat Menggelora…. Kenapa?

    Kenapa dibutuhkan semangat yang menggelora untuk beribadah kepada Allah swt.?

    Pertama, karena beribadah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban syari’ah adalah amanah besar, yang justeru langit, bumi dan gunung enggan menerima amanah besar ini.

    “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” Al Ahzab: 72

    Semangat menggelora boleh jadi mampu menundukkan tinggi dan luasnya langit. Mengalahkan tegarnya gunung. Mengalahkan hamparan bumi.

    Kedua, karena ibadah lebih luas dari sekedar rukun Islam dan sebagian syi’ar Islam yang biasa. Oleh karena itu, mustahil bagi Allah swt. hanya menciptkan makhluk dan mengutus kepada mereka para Rasul. Allah swt. membinasakan suatu kaum dan mengangkat nasib sebagian yang lain. Allah swt. menciptkan surga dan neraka sebagai balasan. Panji-panji dikibarkan untuk mewujudkan peribadatan. Seluruh makhluk ditundukkan untuk manusia. Itu semua dalam rangka meletakkan rekaat shalat dan shaum Ramadhan saja. Tidak, makna ibadah lebih luas dan lebih menyeluruh dari itu semua. Ibadah itu, sebagaimana yang dikenalkan syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah rahimahullah:

    “اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأفعال الظاهرة والباطنة”

    “Setiap istilah yang menyeluruh, terkait setiap yang dicintai Allah dan diridhoi-Nya, baik bentuk ucapan, perbuatan, yang nyata atau yang tersembunyi.”

    Karena itu, setiap upaya mendamaikan antara dua orang adalah ibadah. Membiayai anak yatim atau mengelus kepala mereka adalah sama-sama ibadah. Memberi nasehat adalah ibadah. Membuang sampah pada tempatnya atau menyingkirkan duri dari jalan adalah ibadah. Tidak menyakiti hewan adalah ibadah. Mendidik anak sesuai dengan syari’ah Allah adalah ibadah. Suatu yang boleh akan menjadi bernilai ibadah dengan niat yang benar dan baik. Maka mahasiswa yang study dengan sungguh-sungguh untuk khidmat umat muslim adalah ibadah. Profesional atau pekerja yang sungguh-sungguh mencari rizki halal adalah ibadah. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, berderma untuk diri dan orang lain adalah ibadah.

    Jika makna dan kandungan ibadah begitu luas, maka sudah barang tentu melaksanakan ibadah itu membutuhkan semangat menggelora, sebanding dengan luasnya makna dan kandungan ibadah itu sendiri.

    Ketiga, banyaknya rintangan, kendala dan kesibukan. Baik dari internal maupun dari eksternal manusia.

    Karena itu, jiwa yang cenderung bermalasan dan berleha-leha tidak mungkin mampu melaksanakan kewajiban ibadah yang sangat luas ini. Apa lagi, ada setan yang senantiasa menyelewengkan manusia dari jalur ibadah. Ada juga lingkungan yang mempengaruhinya, himpitan ekonomi dan masalah sosial. Begitu juga dengan godaan-godaan dan rayuan-rayuan yang melenakan lainnya.

    Dari itu, tidak bisa tidak, harus ada semangat yang menggelora dan kesungguhan yang kuat.

    Apa Itu Semangat Menggelora

    Semangat menggelora tidak hanya diartikan menguras potensi untuk bekerja atau beribadah. Ini salah satu ruang lingkup semangat menggelora. Ada bentuk lain, di antaranya:

    Pertama, berusaha melaksanakan amal shaleh dan konsisten melaksanakannya, meskipun hanya sedikit. Rasulullah saw. bersabda,

    “”[أحب العمل إلى الله أدوم وإن قل ” [صححه الألباني

    “Amal yang paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan meskipun sedikit.” Hadits disahihkan Al Albani.

    Kesinambungan dalam beramal meskipun sedikit menunjukkan adanya semangat menggelora bagi pelakunya. Karena tabiat jiwa bosan rutinitas dan lebih cenderung memilih perubahan. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda kepada Abdullah bin Amr ra. “Wahai Abdullah, kamu jangan seperti fulan. Ia melaksanakan qiyamullail, kemudian meninggalkannya.” Muttafaqun ‘alaih. Seakan-akan Rasulullah saw. mencela orang yang meninggalkan amal setelah sebelumnya sudah terbiasa melaksanakannya.

    Kedua, itqanul ibadah. Ibadah dengan maksimal. Tentu ini membutuhkan semangat menggelora. Contohnya, ada orang yang bisa shalat satu rakaat dengan baca sepertiga juz. Namun susah untuk mentadabburi makna yang dibacanya, padahal jika ia mampu memahami kandungan ayat yang dibacanya, ia mampu lebih lama lagi membaca ayat dalam shalat tanpa rasa capek.

    Begitu juga shaum, banyak orang yang bisa menaham makan, minum, dan hubungan biologis, namun sangat sulit mengendalikan lisannya dari ghibah, menaham pandangannya dari melihat yang haram. Dari dua contoh ini, menunjukkan bahwa pelaku ibadah belum mampu melaksanakan ibadah dengan baik dan sempurna.

    Ketiga, menjaga ibadah pada saat-saat malas atau futur. Dalam kondisi seperti ini membutuhkan semangat menggelora. Karena futur adalah sifat manusiawi dan tabiat wajar. Rasulullah saw. bersabda,

    “ ”[لكل عمل شره، ولكل شره فترة ” [صححه الألباني

    “Setiap amal ada jeleknya. Dan setiap kejelekan amal adalah futur.” Disahihkan Al Albani.

    Pada saat futur sangat membutuhkan kesungguhan dan semangat kembali.

    Keempat, melaksanakan ibadah dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban yang lain. Ini tentu membutuhkan kesungguhan dan semangat menggelora. Bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban sangatlah banyak. Apalagi ia seorang pekerja, pelajar dan pengusaha…, maka: adakalanya ia kurang dalam hak suatu ibadah, karena ingin mengejar hak ibadah yang lain.. Atau ia memiliki semangat yang mampu menggabungkan antara dua hal ini. Lebih lagi, jika ia mengetahui bagaimana caranya mensikapi suatu ibadah; sehingga bisa bernilai mubah, ibadah dan berpahala.

    Tujuh Semangat Ramadhan


    Kalau ibadah begitu luas dan menyeluruh di hari-hari biasa, bagaimana jika ibadah itu dilaksanakan pada hari-hari yang mulia, mahal dan istimewa. Adalah hari-hari di bulan Ramadhan. Tentu kebaikan dan kemuliaannya jangan sampai sia-sia. Di sinilah dibutuhkan semangat menggelora dan kesungguhan sebenarnya.

    Paling tidak ada tujuh semangat guna menyambut Ramadhan.

    Pertama, meninggalkan dosa dan maksiat. Karena perbuatan ini melemahkan semangat dan melumpuhkan tekad. Imam Syafi’i pernah mengadu pada gurunya:

    شكوت إلى وكيع سوء حفظي فأرشدني إلى ترك المعاصي

    وقال اعلم بأن العلم نور ونور الله لا يهدى لعاصي

    Ku mengadu pada Waki’ (nama gurunya) soal hafalanku yang jelek

    Ia menyarankanku untuk meninggalkan maksiat

    Ia berkata, ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya

    Dan cahaya Allah tidak akan diberikan pada pelaku maksiat

    Kedua,
    berteman dengan orang yang mempunyai semangat tinggi dan kesungguhan berlebih. Rasulullah saw. bersabda,

    “”[الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل ” [حسنه الألباني

    “Seseorang tergantung agama temannya. Oleh karena itu hendaknya ia melihat siapa temannya.” Disahihkan Al Albani.

    Menjadikan mereka sebagai teman karena Allah adalah ibadah. Cukuplah sebagai contoh, seekor anjing yang juga akhirnya dimuliakan gara-gara dia menemani orang-orang pilihan.

    Ketiga, yakin dengan kemampuan diri sendiri. Karena Allah swt. yang menentukan kapasitas dan potensi masing-masing, sehingga manusia menjadi dirinya sendiri. Bagaimana tidak meledakkan kekuatan dalam diri sendiri, padahal alam maya pada ini ditundukkan untuk manusia. Manusia menguasinya.

    Keempat, memperbanyak membaca keutamaan bulan agung ini. Membaca janji Allah swt. bagi shaaimin, qaaimin dan dzaakirin.

    Kelima, mengenal kondisi salafus shalih dalam bulan Ramadhan. Bagaimana mereka menyambut Ramadhan. Bagaimana mereka memperlakukan dan Ramadhan dalam kehidupan mereka.

    Keenam, menuliskan target yang ingin dicapai di bulan Ramadhan. Contohnya, berapa mengkhatamkan Al Qur’an, bersedekah, memberi makan untuk berbuka.

    Ketujuh, menulis program kerja di sisa bulan Sya’ban ini. Program ibadah yang bertahap, sederhana, meningkat dan meningkat, sehingga menjadikan anggota tubuh sudah terbiasa dengan ibadah Ramadhan.

    Contoh program yang perlu dilaksanakan pada bulan Sya’ban ini:

    1. Membaca setengah juz sehari di awal Sya’ban, dan satu juz sehari di separuh
    Sya’ban kedua.
    2. Melaksanakan qiyamullail dua rekaat dan satu witir.
    3. Bersedekah dua kali dalam satu pekan, dengan nilai tertentu.
    4. Memberi makan fakir-miskin sekali dalam sepekan, sesuai kemampuan.
    5. Membiasakan shaum Senin dan Kamis, dengan menjahui shaum pada hari yang
    meragukan.
    6. Mengikuti dan mengantarkan jenazah setiap satu pekan.
    7. Menjaga dzikir selesai shalat dan dzikir pagi dan petang.
    8. Memelihara shalat lima waktu berjama’ah di masjid.
    9. Melaksanakan shalat sunnah rawatib yang mu’akkad (sangat dianjurkan), seperti,
    dua rakaat sebelum fajar, dua rakaat ditambah dua rakaat sebelum Zhuhur, dua
    rakaat setelah Zhuhur, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya’.

    Kita memohon kepada Allah swt, agar menuntun kita pada amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Agar Allah swt. menguatkan semangat kita, dan meninggikan keinginan kita. Agar Allah swt. menyampaikan kita menemui Ramadhan. Dan agar Allah swt. menjadikan kita sebagai orang-orang yang diterima amal ibadahnya. Amin. Allahu a’lam




    Referensi :

  • dakwatuna



  • Ramadhan yang penuh kelimpahan kebaikan dan keutamaan, akan dapat dirasakan dan diraih ketika ilmu tentang Ramadhan dipahami dengan baik.

    Bayangkan, para generasi awal Islam sangat merindukan bertemu dengan bulan suci ini. Mereka berdo’a selama enam bulan sebelum kedatangannya agar mereka dipanjangkan umurnya sehingga bertemu dengan Ramadhan. Saat Ramadhan tiba, mereka sungguh-sungguh meraih kebaikan dan keuataman Ramadhan. Dan ketika mereka berpisah dengan Ramadhan, mereka berdo’a selama enam bulan setelahnya, agar kesungguhannya diterima Allah swt. Kerinduan itu ada pada diri mereka, karena mereka sadar dan paham betul keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.

    Bagaimana menyambut bulan Ramadhan? Berikut kami hadirkan “8 Tips Sambut Ramadhan” :

    1. Berdoa agar Allah swt. memberikan umur panjang kepada kita sehingga kita berjumpa dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal: Puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadan.” (HR. Ahmad dan Tabrani)

    2. Pujilah Allah swt. karena Ramadhan telah diberikan kembali kepada kita. Imam An Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata: ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah swt. kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan.

    3. Bergembira dengan datangannya bulan Ramadhan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya setiap kali datang bulan Ramadhan: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

    4. Rencanakan agenda kegiatan harian untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadhan. Ramadhan sangat singkat, karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

    5. Kuatkan azam, bulatkan tekad untuk mengisi waktu-waktu Ramadhan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah swt., maka Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” Muhamad:21.

    6. Pahami fiqh Ramadhan. Setiap mukmin wajib hukumnya beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadhan datang agar amaliyah Ramadhan kita benar dan diterima oleh Allah swt.“Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahu.” Al-Anbiyaa’ ayat 7.

    7. Kondisikan qalbu dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs –pemberishan jiwa-. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental, dan jiwa kita siap untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah swt. di bulan Ramadhan.

    8. Tinggalkan dosa dan maksiat. Isi Ramadhan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Lembaran baru kepada Allah, dengan taubat yang sebenarnya taubatan nashuha. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” An-Nur:31. Lembaran baru kepada Muhammad saw., dengan menjalankan sunnah-sunnahnya dan melanjutkan risalah dakwahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahim. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, “Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

    Semoga Allah swt. memanjangkan umur kita sehingga berjumpa dengan Ramadhan. Dan selamat meraih kebaikan-kebaikannya. Amin ya Rabbana. Allahu a’lam (io



    Referensi :

  • dakwatuna


  • Istilah Taubatan Nasuha mungkin jarang kita dengar. Istilah yg lebih sering kita dengar dan lebih sering diutarakan, baik oleh para ustadz, ulama, ataupun di masyarakat adalah taubat atau tobat. Makna keduanya, sekilas sama, namun istilah taubatan nasuha merupakan istilah yg lebih ‘tepat’ dan akan dibahas di artikel ini.
    Terma dari akar kata “t-w-b” dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian: pulang dan kembali. Sedangkan taubat kepada Allah SWT berarti pulang dan kembali ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya. Definisi ini diutarakan oleh Yusuf Qardhawi, salah seorang ulama besar asal Mesir.
    Sementara istilah Taubatan Nasuha, berasal dari Al Qur’an, At Tahrim(66):8,“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.”
    Pengertian murni dalam bertaubat adalah benar2 dilakukan karena ingin kembali ke jalan-Nya. Dia menyesali perbuatan buruknya di masa lalu serta berjanji untuk TIDAK MELAKUKANNYA/MENGULANGINYA di kemudian hari. Hasilnya adalah ALLOH SWT akan menghapus kesalahan2 yg pernah dilakukannya. Dalam satu referensi, aku dapatkan pernyataan dari Al Kulabi, yg menyatakan bahwa taubatan nasuha dilakukan dengan meminta ampunan dengan lidah, menyesal dengan hatinya, serta menjaga tubuhnya untuk tidak melakukannnya lagi.
    Dengan demikian, taubat nasuha HARUSLAH HASIL KOORDINASI LIDAH, HATI DAN TUBUH. Bisa dikatakan, taubat nasuha MIRIP dengan iman, diyakini dg hati, diucapkan dg lisan, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Taubat nasuha merupakan solusi dari ALLOH SWT kepada hamba2Nya yg pernah berbuat kesalahan (dosa) dan kemudian menyadarinya, serta ingin kembali ke jalan yg benar. Hal ini dikarenakan tidak ada manusia yg tidak pernah berbuat kesalahan. Manusia bukanlah malaikat, yg selalu bersih, tanpa noda…karena setan, selaku musuh manusia, akan selalu menggoda manusia ke dalam perbuatan maksiat dan melanggar aturan ALLOH SWT, hingga akhir jaman.
    Hinakah orang yg berbuat salah kemudian menyadari kesalahannya dan ingin kembali ke sisi ALLOH SWT? Sesungguhnya tidaklah hina orang yg bertaubat, karena ALLOH SWT sendiri menyukai orang2 yg bertaubat, sebagaimana tercantum di Al Baqarah(2):222,“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.“
    Hal ini wajar jika ALLOH SWT menyukai orang2 yg bertaubat, karena ALLOH SWT sendiri SUKA MENERIMA TOBAT, Al Baqarah(2):160,“kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.“
    Ada juga orang yg mengaku bertobat, tapi kembali berulangkali melakukan kesalahan yg sama. Aku jadi teringat ceramah Zainudin MZ, yg menyatakan orang yg demikian tobatnya adalah tobat sambal. Ngaku tobat (kapok) makan sambal, tapi di kesempatan lain akan mencoba lagi makan sambal…dan saat pedas dirasa, dia tobat lagi, tapi makan lagi sambal, demikian seterusnya…
    Dengan demikian, taubat nasuha ialah taubat yang mengandungi ciri-ciri berikut:
    1. Menyesal di atas dosa/maksiat yang dilakukan. Untuk dosa/perbuatan maksiat yg ‘biasa’, dilakukan dg memohon ampunan kepada ALLOH SWT. Sedangkan jika kesalahan dilakukan kepada sesama manusia, maka hendaklah dia meminta maaf kepadanya serta mengembalikan hak yg dia rampas (jika ada).
    2. Berniat (dg sungguh2) tidak akan mengulanginya lagi.
    3. Memohon taubat kepada ALLOH SWT.
    4. ‘Menghapus’ kesalahan masa lalu dg banyak beramal soleh.
    Mudah2an artikel ini berguna….


    “Yaa ayyuhalladziina aamanuu tuubuu ilallaahi tawbatan-nashuuha. ‘Asaa robbukum an-y-yukaffiro’ankum sayyi-aatikum wa yudkhilakum jannaatin tajrii min tahtihalanhaar. Yawma laa yukhzillaahu-n-nabiyya walladziina aamanuu ma’ahuu, nuuruhum yas’a bayna aydihim wa biaymaanihim, yaquuluuna robbanaa atmimlanaa nuuranaa waghfirlanaa, innaka ’alaa kulli syay-in qodiir.” (At-Tahrim:9)
    “Hai, orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas tobat. Semoga Tuhanmu akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukanmu dan akan memasukkanmu ke dalam surga-surga, yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya. Cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka. Mereka akan berkata, “Hai Tuhan kami, sempurnakanlah kiranya cahaya kami bagi kami dan ma’afkanlah kami; sesungguhnya, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

    Ayat yang sangat indah ini mengajarkan kepada kita, pengerti-an dan pemahaman mengenai beberapa hal yang penting untuk kita hayati, diantaranya sebagai berikut :

    1. Bahwa kehidupan Surgawi itu hanya bisa dicapai dengan menjalankan kehidupan yang bersih, bebas dari keburukan-keburukan. Dan terbebasnya seseorang dari keburukan-keburukan tersebut bukanlah karena kekuatannya sendiri, melainkan berkat Allah swt. Sendiri yang membersihkannya. Hal ini jelas tersirat dalam ayat:

    ‘Asaa robbukum an-y-yukaffiro’ankum sayyi-aatikum wa yudkhilakum jannaatin tajrii min tahtihalanhaar'.

    Segera Tuhanmu akan menjauhkan kamu dari keburukan-keburukanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.

    Dalam ayat ini kehidupan surgawi diibaratkan, atau diumpama-kan, sebagai kehidupan di dalam kebun-kebun di mana di bawah-nya mengalir sungai-sungai.

    2. Bahwa tahapan-tahapan untuk meraih kehidupan surgawi itu adalah :

    Tahapan pertama: Iman atau keimanan

    Tahapan kedua: Kembali atau taubat kepada Allah dengan tawbatan nasuha. Yang dimaksud dengan Taubat Nasuha, adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat itu sendiri: yaitu Taubat yang memungkinkan terjadinya: ‘Asaa robbukum an-y-yukaffiro ’ankum sayyi-aatikum, yakni: “Segera Tuhanmu menghilangkan dari kamu keburukan-keburukanmu.” Atau sebagaimana diterangkan oleh Hz. Khalifatul Masih IV atba.: “Yang dimaksud dengan Taubatan Nashuha adalah taubat yang dalam pandangan Allah swt., memiliki potensi untuk memurnikan, membersihkan, mensucikan diri.” Jadi arti dari Taubatan Nashuha itu adalah: berusaha sekeras-kerasnya untuk menjadi orang yang bersih dari noda. Dalam hal ini mengisyarahkan adanya niat dan tekad yang kuat untuk menjalani suatu kehidupan yang bersih.

    Tahapan Ketiga: Jika dalam pandangan Allah swt. usaha keras tersebut sudah memadai maka terjadilah ‘Asaa robbukum an-y-yukaffiro ’ankum sayyi-aatikum, tersebut. Artinya, tangan Tuhan sendiri yang akan membersihkan orang tersebut dari keburukan-keburukannya.

    Tahapan Keempat: Jika kebersihan diri tersebut sudah dimilikinya, barulah ia atau seseorang memasuki suatu kehidupan surgawi.

    Itulah empat tahapan yang harus dilalui dalam mencapai kehidupan surgawi tersebut.

    3. Bahwa ciri-ciri kehidupan surgawi itu, yang dalam ayat ini diibaratkan sebagai “kehidupan dalam kebun-kebun dimana dibawahnya mengalir sungai-sungai”; yang jelas-jelas bahwa ayat ini harus ditafsirkan; menunjukkan ciri- ciri sebagai berikut :

    a. Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya.(Perlu penafsiran)
    b. Cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka. (Perlu penafsiran)
    c. Mereka akan berkata, “Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah kiranya cahaya kami bagi kami dan maafkanlah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Perlu penafsiran)

    4.Tafsir.

    4.1. Tafsir kehidupan surgawi, yaitu kehidupan di dalam kebun-kebun dimana mengalir dibawahnya sungai-sungai, adalah: suatu kehidupan dengan kondisi keimanan yang mampu melahirkan amal-amal saleh. Hidup dalam kualitas seperti itu akan mendekatkan diri seseorang kepada Rasulullah saw..

    4.2. Ciri-cirinya :

    a. Orang yang memiliki kehidupan surgawi tersebut mempu-nyai sifat-sifat seperti Muhammad saw. dan para sahabat beliau, yakni sifat-sifat pokoknya: Siddiq, Amanat, Tabligh, Fathonah. Dengan demikian mereka tidak akan membuat Rasulullah saw. dan para sahabatnya merasa malu. Sebalik-nya, jika mereka yang mengaku menjadi umat Muhammad tidak memiliki keempat sifat pokok tadi, apalagi jika malah mempunyai sifat-sifat yang bertentangan dengan keempat sifat-sifat tersebut, hal ini dapat diartikan membuat malu Rasulullah saw. dan para sahabat beliau.

    b. “Cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka”, artinya: mereka akan selalu memperoleh petunjuk dalam persoalan-persoalan yang mereka hadapi, dan segala tindakannya yang dilakukan selalu akan menghasilkan kebaikan-kebaikan dan manfa’at-manfa’at.

    c. Mereka akan berkata, “Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah kiranya cahaya kami bagi kami dan maafkanlah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Artinya: bahwa nikmat-nikmat Allah yang mereka terima tidak akan ada putus-putusnya, dan akan selalu bertambah dan meningkat serta mereka akan selalu mendapat lindungan maghfirah Tuhan, berkat pengabulan Tuhan atas do’a-do’anya tersebut.
    Itulah kehidupan surgawi yang dimulai dan terjadi di dunia ini juga. Artinya: barangsiapa yang berhasil memperolehnya di dunia, berarti ia akan memperolehnya juga di akhirat nanti. Ini analog dengan kaidah: Barangsiapa buta di dunia, maka ia akan buta pula di akhirat (17: 73)

    5. Adalah sangat menarik untuk diperhatikan, bahwa yang diseru dalam ayat ini, untuk kembali (taubat) kepada Allah dengan Taubatan Nashuha adalah orang-orang yang beriman. Timbul pertanyaan: mengapa bukan orang-orang yang memusuhi atau yang melawan kebenaran yang diseru untuk melakukan Taubat dan Taubatan Nashuha tersebut? Mengapa justru orang-orang yang beriman yang diseru?. Dalam Alquran terdapat beberapa istilah bagi mereka yang melawan kebenaran sebagai lawan-kata bagi istilah “orang-orang yang beriman”, yakni umpamanya: Al Kafirun, Al Munafikun, Al Kadzibun, Al Fasiqun, Al Mujrimun, Al Musyrikun, dan sebagainya. Mengapa bukan mereka yang diseru untuk bertaubat dengan Taubatan Nashuha? Mengapa justru “orang-orang yang beriman” yang diseru? Hal ini berarti, bahwa hanya orang-orang yang beriman saja yang akan berhasil melakukan Taubat dan Taubatan Nashuha; di luar golongan orang-orang yang beriman, mereka tidak akan mampu dan tidak akan berhasil melakukannya, kecuali, terlebih dahulu mereka merubah kondisi mereka sehingga menjadi golongan orang-orang yang beriman. Dan perubahan kondisi seperti itu, hanya bisa dilakukan melalui mekanisme “Bai’at”. Dan Bai’at hanya bisa dilakukan kepada Imam Zaman yang diberi otoritas untuk itu dari Allah Swt..Oleh karena itu, Bai’at merupakan pranata keagamaan yang wajib hukumnya, dan perintahnya terdapat dalam Alquran (48: 11). Dan itulah pula sebabnya mengapa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan bahwa salahsatu hakikat Bai’at itu adalah merupakan Taubat, kembali kepada Allah. Dan menurut pemahaman penulis secara pribadi, mungkin ini merupakan ijtihad, bahwa pelaksanaan 10 syarat Bai’at yang ditetapkan Beliau a.s. (tentu saja atas dasar petunjuk Allah Swt.) adalah merupakan pelaksanaan Taubatan Nasuha.

    Marilah kita renungkan untuk menghayati bunyi 10 syarat bai’at tersebut di bawah ini:

    1. Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik.
    2. Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan berahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.
    3. Akan senantiasa mendirikan sembahyang lima waktu tanpa putus-putusnya sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat tenaga berikhtiar senantiasa akan mengerjakan sembahyang tahajud, dan mengirim shalawat kepada junjungannya Yang Mulia Rasulullah saw. dan setiap hari akan membiasakan mengucapkan pujian dan sanjungan terhadap Allah Ta’ala dengan mengingat kurnia-kurnia-Nya dengan hati yang penuh rasa kecintaan.
    4. Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah seumumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, biar dengan lisan atau dengan cara apa pun juga.
    5. Akan tetap setia terhadap Allah Ta’ala baik dalam segala keadaan susah ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya, akan rela atas putusan Allah Ta’ala. Dan senantiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di dalam jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.
    6. Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Qur’an Suci di atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan jadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya.
    7. Meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup dengan merendah-kan diri, beradat lemah lembut berbudi pekerti yang halus dan sopan-santun.
    8. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam le-bih daripada jiwanya, harta-bendanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
    9. Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah seumum-nya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya.
    10. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba Allah Ta’ala ini, semata-mata karena Allah dengan pengakuan ta’at dalam hal ma’ruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya.
    11. Tali persaudaraan ini begitu tinggi wawasannya, sehingga tidak akan diperoleh bandingannya, baik dalam ikatan persaudaraan dunia, maupun dalam kekeluargaan atau dalam segala macam hubungan antara hamba dengan tuannya.

    Jika kita berusaha sekeras-kerasnya untuk memenuhi tuntutan 10 syarat Bai’at dengan hati yang sejujur-jujurnya, seikhlas-ikhlasnya, berarti kita telah melakukan Taubatan Nasuha dengan niat, tekad dan ketulusan yang sesungguhnya. Penilaiannya kita serahkan kepada Allah Swt. Yang Maha Mengetahui ; dan apabila dalam pandangan-Nya, usaha kita itu telah cukup memadai, maka tunggulah, pertolongan Tuhan pasti akan datang untuk menuntun kita memasuki kehidupan surgawi, yakni kehidupan yang dinaungi teduhnya Pohon Keimanan, yang selalu diairi oleh mengalirnya Sungai-sungai Amal Shalih, dan selalu dibimbing oleh petunjuk Allah Swt. dalam menuju kearah kebaikan-kebaikan, dan yang selamanya memperoleh limpahan karunia Ni’mat dan lindungan Maghfirah-Nya serta kesejukan Keridhaan-Nya. Jika hal ini tercapai, berarti kita akan memperoleh Keselamatan dan Ketenteraman. Mudah-mudahan. Semoga Allah Swt. memberi taufik kepada kita untuk meraihnya. Amin.

    ;;