“Yaa ayyuhalladziina aamanuu tuubuu ilallaahi tawbatan-nashuuha. ‘Asaa robbukum an-y-yukaffiro’ankum sayyi-aatikum wa yudkhilakum jannaatin tajrii min tahtihalanhaar. Yawma laa yukhzillaahu-n-nabiyya walladziina aamanuu ma’ahuu, nuuruhum yas’a bayna aydihim wa biaymaanihim, yaquuluuna robbanaa atmimlanaa nuuranaa waghfirlanaa, innaka ’alaa kulli syay-in qodiir.” (At-Tahrim:9)
“Hai, orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas tobat. Semoga Tuhanmu akan menghapuskan dari kamu keburukan-keburukanmu dan akan memasukkanmu ke dalam surga-surga, yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya. Cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka. Mereka akan berkata, “Hai Tuhan kami, sempurnakanlah kiranya cahaya kami bagi kami dan ma’afkanlah kami; sesungguhnya, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Ayat yang sangat indah ini mengajarkan kepada kita, pengerti-an dan pemahaman mengenai beberapa hal yang penting untuk kita hayati, diantaranya sebagai berikut :

1. Bahwa kehidupan Surgawi itu hanya bisa dicapai dengan menjalankan kehidupan yang bersih, bebas dari keburukan-keburukan. Dan terbebasnya seseorang dari keburukan-keburukan tersebut bukanlah karena kekuatannya sendiri, melainkan berkat Allah swt. Sendiri yang membersihkannya. Hal ini jelas tersirat dalam ayat:

‘Asaa robbukum an-y-yukaffiro’ankum sayyi-aatikum wa yudkhilakum jannaatin tajrii min tahtihalanhaar'.

Segera Tuhanmu akan menjauhkan kamu dari keburukan-keburukanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.

Dalam ayat ini kehidupan surgawi diibaratkan, atau diumpama-kan, sebagai kehidupan di dalam kebun-kebun di mana di bawah-nya mengalir sungai-sungai.

2. Bahwa tahapan-tahapan untuk meraih kehidupan surgawi itu adalah :

Tahapan pertama: Iman atau keimanan

Tahapan kedua: Kembali atau taubat kepada Allah dengan tawbatan nasuha. Yang dimaksud dengan Taubat Nasuha, adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat itu sendiri: yaitu Taubat yang memungkinkan terjadinya: ‘Asaa robbukum an-y-yukaffiro ’ankum sayyi-aatikum, yakni: “Segera Tuhanmu menghilangkan dari kamu keburukan-keburukanmu.” Atau sebagaimana diterangkan oleh Hz. Khalifatul Masih IV atba.: “Yang dimaksud dengan Taubatan Nashuha adalah taubat yang dalam pandangan Allah swt., memiliki potensi untuk memurnikan, membersihkan, mensucikan diri.” Jadi arti dari Taubatan Nashuha itu adalah: berusaha sekeras-kerasnya untuk menjadi orang yang bersih dari noda. Dalam hal ini mengisyarahkan adanya niat dan tekad yang kuat untuk menjalani suatu kehidupan yang bersih.

Tahapan Ketiga: Jika dalam pandangan Allah swt. usaha keras tersebut sudah memadai maka terjadilah ‘Asaa robbukum an-y-yukaffiro ’ankum sayyi-aatikum, tersebut. Artinya, tangan Tuhan sendiri yang akan membersihkan orang tersebut dari keburukan-keburukannya.

Tahapan Keempat: Jika kebersihan diri tersebut sudah dimilikinya, barulah ia atau seseorang memasuki suatu kehidupan surgawi.

Itulah empat tahapan yang harus dilalui dalam mencapai kehidupan surgawi tersebut.

3. Bahwa ciri-ciri kehidupan surgawi itu, yang dalam ayat ini diibaratkan sebagai “kehidupan dalam kebun-kebun dimana dibawahnya mengalir sungai-sungai”; yang jelas-jelas bahwa ayat ini harus ditafsirkan; menunjukkan ciri- ciri sebagai berikut :

a. Allah tidak akan menghinakan Nabi maupun orang-orang yang beriman besertanya.(Perlu penafsiran)
b. Cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka. (Perlu penafsiran)
c. Mereka akan berkata, “Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah kiranya cahaya kami bagi kami dan maafkanlah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Perlu penafsiran)

4.Tafsir.

4.1. Tafsir kehidupan surgawi, yaitu kehidupan di dalam kebun-kebun dimana mengalir dibawahnya sungai-sungai, adalah: suatu kehidupan dengan kondisi keimanan yang mampu melahirkan amal-amal saleh. Hidup dalam kualitas seperti itu akan mendekatkan diri seseorang kepada Rasulullah saw..

4.2. Ciri-cirinya :

a. Orang yang memiliki kehidupan surgawi tersebut mempu-nyai sifat-sifat seperti Muhammad saw. dan para sahabat beliau, yakni sifat-sifat pokoknya: Siddiq, Amanat, Tabligh, Fathonah. Dengan demikian mereka tidak akan membuat Rasulullah saw. dan para sahabatnya merasa malu. Sebalik-nya, jika mereka yang mengaku menjadi umat Muhammad tidak memiliki keempat sifat pokok tadi, apalagi jika malah mempunyai sifat-sifat yang bertentangan dengan keempat sifat-sifat tersebut, hal ini dapat diartikan membuat malu Rasulullah saw. dan para sahabat beliau.

b. “Cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka”, artinya: mereka akan selalu memperoleh petunjuk dalam persoalan-persoalan yang mereka hadapi, dan segala tindakannya yang dilakukan selalu akan menghasilkan kebaikan-kebaikan dan manfa’at-manfa’at.

c. Mereka akan berkata, “Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah kiranya cahaya kami bagi kami dan maafkanlah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Artinya: bahwa nikmat-nikmat Allah yang mereka terima tidak akan ada putus-putusnya, dan akan selalu bertambah dan meningkat serta mereka akan selalu mendapat lindungan maghfirah Tuhan, berkat pengabulan Tuhan atas do’a-do’anya tersebut.
Itulah kehidupan surgawi yang dimulai dan terjadi di dunia ini juga. Artinya: barangsiapa yang berhasil memperolehnya di dunia, berarti ia akan memperolehnya juga di akhirat nanti. Ini analog dengan kaidah: Barangsiapa buta di dunia, maka ia akan buta pula di akhirat (17: 73)

5. Adalah sangat menarik untuk diperhatikan, bahwa yang diseru dalam ayat ini, untuk kembali (taubat) kepada Allah dengan Taubatan Nashuha adalah orang-orang yang beriman. Timbul pertanyaan: mengapa bukan orang-orang yang memusuhi atau yang melawan kebenaran yang diseru untuk melakukan Taubat dan Taubatan Nashuha tersebut? Mengapa justru orang-orang yang beriman yang diseru?. Dalam Alquran terdapat beberapa istilah bagi mereka yang melawan kebenaran sebagai lawan-kata bagi istilah “orang-orang yang beriman”, yakni umpamanya: Al Kafirun, Al Munafikun, Al Kadzibun, Al Fasiqun, Al Mujrimun, Al Musyrikun, dan sebagainya. Mengapa bukan mereka yang diseru untuk bertaubat dengan Taubatan Nashuha? Mengapa justru “orang-orang yang beriman” yang diseru? Hal ini berarti, bahwa hanya orang-orang yang beriman saja yang akan berhasil melakukan Taubat dan Taubatan Nashuha; di luar golongan orang-orang yang beriman, mereka tidak akan mampu dan tidak akan berhasil melakukannya, kecuali, terlebih dahulu mereka merubah kondisi mereka sehingga menjadi golongan orang-orang yang beriman. Dan perubahan kondisi seperti itu, hanya bisa dilakukan melalui mekanisme “Bai’at”. Dan Bai’at hanya bisa dilakukan kepada Imam Zaman yang diberi otoritas untuk itu dari Allah Swt..Oleh karena itu, Bai’at merupakan pranata keagamaan yang wajib hukumnya, dan perintahnya terdapat dalam Alquran (48: 11). Dan itulah pula sebabnya mengapa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan bahwa salahsatu hakikat Bai’at itu adalah merupakan Taubat, kembali kepada Allah. Dan menurut pemahaman penulis secara pribadi, mungkin ini merupakan ijtihad, bahwa pelaksanaan 10 syarat Bai’at yang ditetapkan Beliau a.s. (tentu saja atas dasar petunjuk Allah Swt.) adalah merupakan pelaksanaan Taubatan Nasuha.

Marilah kita renungkan untuk menghayati bunyi 10 syarat bai’at tersebut di bawah ini:

1. Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik.
2. Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan berahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.
3. Akan senantiasa mendirikan sembahyang lima waktu tanpa putus-putusnya sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat tenaga berikhtiar senantiasa akan mengerjakan sembahyang tahajud, dan mengirim shalawat kepada junjungannya Yang Mulia Rasulullah saw. dan setiap hari akan membiasakan mengucapkan pujian dan sanjungan terhadap Allah Ta’ala dengan mengingat kurnia-kurnia-Nya dengan hati yang penuh rasa kecintaan.
4. Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah seumumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, biar dengan lisan atau dengan cara apa pun juga.
5. Akan tetap setia terhadap Allah Ta’ala baik dalam segala keadaan susah ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya, akan rela atas putusan Allah Ta’ala. Dan senantiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di dalam jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.
6. Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Qur’an Suci di atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan jadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya.
7. Meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup dengan merendah-kan diri, beradat lemah lembut berbudi pekerti yang halus dan sopan-santun.
8. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam le-bih daripada jiwanya, harta-bendanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
9. Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah seumum-nya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya.
10. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba Allah Ta’ala ini, semata-mata karena Allah dengan pengakuan ta’at dalam hal ma’ruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya.
11. Tali persaudaraan ini begitu tinggi wawasannya, sehingga tidak akan diperoleh bandingannya, baik dalam ikatan persaudaraan dunia, maupun dalam kekeluargaan atau dalam segala macam hubungan antara hamba dengan tuannya.

Jika kita berusaha sekeras-kerasnya untuk memenuhi tuntutan 10 syarat Bai’at dengan hati yang sejujur-jujurnya, seikhlas-ikhlasnya, berarti kita telah melakukan Taubatan Nasuha dengan niat, tekad dan ketulusan yang sesungguhnya. Penilaiannya kita serahkan kepada Allah Swt. Yang Maha Mengetahui ; dan apabila dalam pandangan-Nya, usaha kita itu telah cukup memadai, maka tunggulah, pertolongan Tuhan pasti akan datang untuk menuntun kita memasuki kehidupan surgawi, yakni kehidupan yang dinaungi teduhnya Pohon Keimanan, yang selalu diairi oleh mengalirnya Sungai-sungai Amal Shalih, dan selalu dibimbing oleh petunjuk Allah Swt. dalam menuju kearah kebaikan-kebaikan, dan yang selamanya memperoleh limpahan karunia Ni’mat dan lindungan Maghfirah-Nya serta kesejukan Keridhaan-Nya. Jika hal ini tercapai, berarti kita akan memperoleh Keselamatan dan Ketenteraman. Mudah-mudahan. Semoga Allah Swt. memberi taufik kepada kita untuk meraihnya. Amin.

1 Comment:

  1. Gunawan said...
    test comment

Post a Comment