Tragedi kehidupan tersebut bermula dari tragedi kesadaran diri yang dialami ummat manusia sebelumnya. Pertama ketika ia mencoba memahami diri sendiri dan kedua ketika ia mengenal semestanya.

1. Kesadaran diri manusia bagaikan pelita yang menyala. Cahayanya terus berkembang hingga mencapai titik optimalnya. Dan muncullah tragedi ketika ia merasa bahwa dirinya lebih terang dari semua yang lain. Itulan momen kelahiran Iblis di dalam diri manusia (kesombongan).
2. Setiap individu menyadari bahwa ia hidup bersama orang lain di dunia ini. Di samping itu ia juga menyadari bahwa fasilitas hidup yang tersedia sangat terbatas. Ketika kesadaran akan 'kelangkaan sumberdaya alam' bertemu dengan kesadaran akan 'kebersamaan hidup' di dalam diri seseorang, maka lahirlah tragedi kedua yang berupa 'sikap mementingkan diri sendiri'. Dan itulah momen kelahiran Setan di dalam diri (Keserakahan).

Dua macam tragedi tersebut telah melibat setiap insan di sepanjang zaman dan melahirkan sikap negatif terhadap kenyataan. Maka fenomena yang muncul kemudian hanya berupa bentuk-bentuk budaya yang ditegakkan atas kepentingan sepihak (ke dalam) demi menyelamatkan diri dari golongan lain yang dianggap lawan. Maka lenyaplah motif 'fastabiqul khairat' dari era 'rahmatan lil 'alamin'.

Setiap golongan ummat merasa lebih unggul dan lebih berhak menentukan segala-galanya dari golongan lain, persis sebagaimana dilukiskan oleh Al-Qur'an, Sr.Al-Baqarah: 133.

"Dan orang-orang Yahudi berkata: 'Orang-orang Nasarani itu tidak berhak atas sesuatu' (tidak punya pegangan), dan orang-orang Nasrani berkata: 'Orang-orang Yahudi itu tidak berhak atas sesuatu', padahal mereka sama-sama membaca Al-Kitab. demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui mengatakan seperti ucapan mereka. Maka Allah akan mengadili di antara mereka di hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan."

Mereka gagal menangkap kenyataan sebagaimana adanya.



0 Comments:

Post a Comment